Seni Qur’anik: Sebuah Pengantar tentang Seni Islam

0
323

Tidak ada sumber langsung pada seni dalam al-Qur’an. Akan tetapi, mengingat fakta bahwa al-Qur’an adalah pondasi utama Islam, maka tidak mengejutkan bahwa semangat kreatif masyarakat muslim muncul dari dan berpijak pada al-Qur’an.

Seni Islami, secara keseluruhan, adalah seni qur’anik; jelasnya, ekspresi estetis yang didasarkan atas dan dimotivasi al-Qur’an. Selain itu, seni qur’anik merupakan ekspresi estetis yang tujuan dan penerapannya berpijak pada al-Qur’an.

Dalam al-Qur’an, Tuhan digambarkan sebagai Sang Khaliq yang unik dan kekal, dan abadi:

.. لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١١

 “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: ayat 11)

لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ١٠٣

“Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Maha halus lagi Mahateliti.” (QS. Al-An’am [6]: ayat 103).

Karena itu, Allah berada di luar segala representasi dan manusia tidak mampu meringkus Allah dalam citraan antropomorfis. Jadi, masuk akal untuk berpendapat bahwa al-Qur’an tidak mengizinkan pelukisan atau perupaan Tuhan dalam bentuk apapun.

Namun, pelarangan secara total terhadap segala bentuk gambar, lukisan, dan perupaan lainnya, termasuk gambar manusia dan makhluk lainnya adalah argumen yang kebablasan. Pendirian al-Qur’an sangat jelas bahwa berhala, citraan dewa-dewa adalah kesalahan puncak.

Berhala memvisualkan upaya manusia meringkus Tuhan; upaya mengurangi Ketakberhinggaan Tuhan ke dalam keterbatasan kesadaran manusia; serta upaya menguasai, memiliki, dan mengendalikan konsep tentang sesembahan. Tidak mengherankan, seni Islam menolak penggambaran sosok Tuhan.

Sebaliknya, seni qur’anik fokus pada fakta bahwa Tuhan itu tak terbatas sehingga produk seninya cenderung abstrak dan bertujuan menciptakan kesan ketakterbatasan dan transendensi. Jadi dalam berbagai seni plastis, dapat melihat permainan garis geometris.

Berawal dari garis-garis yang berubah menjadi pola, pola bergabung menjadi modul, dan modul bergabung menjadi motif lebih besar, dan berulang-ulang tanpa kenal henti untuk menghasilkan gerakan.

Kombinasi dan repetisi (pengulangan)—yang, sebagaimana kita lihat, penting bagi struktur al-Qur’an itu sendiri—berlanjut ad infinitum (secara tak terhingga) untuk menciptakan intuisi tentang yang tak terbatas, yang berada di luar ruang dan waktu.

Ekspresi estetis semacam itu bisa dilihat  dalam arabesques (seni ornamen bercorak Arab), pada karpet, dinding, dan perabot serta berbagai elemen-elemen arsitektur. Dampak logis dari pentingnya kata-kata dalam al-Qur’an adalah perkembangan kaligrafi: representasi kata-kata sebagai bentuk seni.

Umumnya, kaligrafi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri untuk mengungkapkan ketakziman dan keterpesonaan lewat garis, bentuk, warna, dan gerakan mengubah kata menjadi seni. Kaligrafi menjadi satu estetika yang mendorong umat muslim untuk membaca lingkungan mereka melalui kata-kata al-Qur’an, untuk berpindah dari garis dan bentuk kata menuju pengamatan terhadap dunia.

Al-Qur’an mengulang-ulang deskripsi metaforis tentang surga, ungkapan verbal mengenai satu tempat yang penuh dengan kebun, mata air, dan paviliun, yang semua itu merupakan sendi utama keindahan. Deskripsi ini memainkan peran penting dalam perkembangan seni qur’anik.

Deskripsi ini juga mengilhami lukisan, miniatur, dan arsitektur. Surga divisualkan dalam bentuk istana Alhambra di Granada. Seni membuat taman dikembangkan oleh Dinasti Mogul di anak benua India.

Konsep kebun dimasukkan ke dalam bangunan rumah-rumah tradisional yang didirakan di sekitar taman alun-alun dalam kota yang dilengkapi dengan pancuran. Di sini, estetika menjadi seni praktis yang terjalin dalam cara hidup, mulai dari tata ruang kota hingga bentuk dan hiasan alat rumah tangga.

Semua ekspresi seni itu merupakan sarana untuk mengamati dan merenungkan berbagai cara kehadiran Dia yang tak terbatas. Namun, ada beberapa kalangan muslim puritan yang menolak segala bentuk seni.

Dalam buku  Ngaji Qur’an di Zaman Edan karya Ziauddin Sardar, dikatakan mereka berpendapat bahwa al-Qur’an menolak segala macam gambar (representasi) dengan dalih bahwa Tuhan membuat segala sesuatu sebaik-baiknya (lihat QS. As-Sajadah [32]: ayat 7) dan manusia harus menjauhi upaya membuat tiruan kesempurnaan-Nya.

Ziauddin juga menambahkan bahwa argumen tak logis ini menganggap seniman itu meniru Tuhan. Padahal, seniman itu berusaha menjelajahi, memahami dan merenungkan ciptaan Tuhan. Ada sejumlah muslim yang menerima seni abstrak tradisional, tetapi masih dengan sikap enggan.

Bagi mereka, totalitas seni dalam Islam haruslah abstrak tanpa representatif figuratif (menyerupai sosok). Kaum puritan juga berpendapat bahwa seni itu haram dalam Islam dan tidak diperbolehkan dalam masyarakat muslim.

Argumen semacam ini sangatlah aneh dan tidak manusiawi. Penafsiran absurd seperti itu bukan hanya membunuh imajinasi, melainkan juga mengingkari hidup serta menghancurkan aspek yang memanusiakan manusia.

Al-Qur’an memberikan gambaran terbaik tentang orang semacam itu; “Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: ayat 179)

Beruntungnya, orang yang ‘lalai’ itu tidak berdampak banyak pada praktik seni kaum muslim. Buktinya, dilihat dari representatif figuratif cukup dominan dalam seni miniatur Persia. Model tersebut juga kerap digunakan dalam ilustrasi buku, baik buku sastra maupun buku ilmiah.  Semua itu telah memperkaya kontribusi Islam pada seni dan juga membentuk estetika Islam yang khas.

Wallahu a’lam.

Ahmad Mushawwir, S.Ag. (Alumni PP. LSQ ar-Rohmah)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here