
Moderasi Beragama Sebagai Basis Membangun Kohesi Sosial
Oleh: Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A
Guru Besar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengasuh
Pesantren Mahasiswa LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta.
Diversity is reality, but harmony is necessity
No peace among the nations without peace among the religions.
No peace among the religions without dialogue between the religions.
No dialogue between the religions without investigating the foundation of the
religions.
Georfe B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed)
Keragaman adalah sebuah realitas, tetapi keharmonisan adalah sebuah keharusan. Tidak ada perdamaian bangsa-bangsa, tanpa peradamaian diantara agama-agama. Tidak ada perdamaian agama-agama, tanpa ada dialog antara agama-agama. Tidak ada dialog antara agama-agama, tanpa keberanian untuk meneliti tentang fondasi dasar agama-agama tersebut.
Karakter dasar Islam adalah moderasi (the nature of Islam is moderation). Maka, mengartikulasikan Islam yang menyimpang dari nilai-nilai moderasi dapat dinilai sebagai sebuah kegagalan memahami ajaran Islam. Itu sebabnya, mengacu pada kutipan di atas, penulis menambahkah bahwa fondasi dasar beragama adalah moderasi (wasthiyah). Jika fondasi ini lemah, maka akan bisa meruntuhkan otentisitas keberagamaan kita.
Namun, tentu menjadi keprihatinan kita bersama, bahwa akhir-akhir fenomena radikalisasi agama dan intoleransi, baik yang bersifat wacana maupun aksi merupakan fakta sosial yang tak terbantahkan.2 Dalam studi Ashour, proses radikalisasi umumnya berlangsung dari tahap intoleransi, radikalisasi ideologi, dan kemudian radikalisasi perilaku. Harus dicatat di sini bahwa radikalisme bukanlah gejala khas Islam. Ia terjadi pada agama dan kepercayaan lain, dan untuk tujuan yang beragam, dari politik hingga ekonomi. Misalnya saja radikalisme di sebagian kalangan dalam agama Buddha di Myanmar atas isu etnis Rohingya. Dengan kata lain, soft radicalism dapat berkembang menjadi hard radicalism.
Konflik yang mengatasnamakan agama tampak semakin menggurita, yang berimbas pada tindakan kekerasan dan tentu saja ini sangat menciderai, bukan saja pada nilai dasar keberagamaan itu sendiri yang mendorong untuk hidup rukun, tetapi juga nilai kemanusiaan yang menuntut untuk saling mencintai. Agama itu sebenarya hadir ke dunia, bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kepentingan manusia, yakni agar tercapai kehidupan yang maslahah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal itu antara lain diisyaratkan pada penamaaan akhir surat dalam al-Qur’an sebagai Surat al-Nas (Surat Manusia). Di samping itu, ada sekian banyak ayat dalam al-Qur’an yang diawali
menyapa dengan panggilan yâ ayyuha al-nâs (wahai manusia). Tidak berlebihan jika Prof. Dr. Fazlur Rahman dalam bukunya Major Themes of the Qur’an menyebut bahwa al-Qur’an sesungguhnya merupakan “respon Tuhan” buat manusia, sebagai wujud sifat Rahman-Rahim-Nya. Itu diperkuat dengan deklarasi Tuhan sendiri di awal surat al-Fatihah, Bimillah Rahman al-Rahim. Seolah Tuhan hendak mengabarkan, wahai
manusia tebarkan sifat kasih sayang kepada semua makhluk-Ku, karena Aku adalah Tuhan yang Pengasih dan Penyayang.
Untuk mengembalikan sikap moderasi beragama dalam konteks masyarakat yang multi agama dan multi kultur menjadi sebuah keniscyaan. Sebab hanya dengan sikap moderasi beragam, kita akan mampu membangun kohesi sosial, demi menggapai kemaslahatn bersama. Tidak mungkin tercapai kemaslahatan, manakala dalam kehidupan beragama isinya hanya konflik dan kekerasan. Memang, ketegangan dan konflik dalam kehidupan beragama, sering kali tidak dapat dihindari, karena berbagai faktor, baik sosial, kultur, ekonomi, politik maupun teologi. Namun, satu hal yang penting untuk ditegaskan adalah bagaimana konstruksi keberagamaan kita ini, mencerminkan paradigma keberagamaan moderasi, sehingga tidak mudah tersulut konflik. Maka, hemat penulis bahwa paradigma yang cocok untuk resolusi konflik adalah paradigma moderasi beragama: dari model keberagamaan konflik menuju perdamaian (min al-ikhtilâf ilâal-itilâf), dari kebencian menuju cinta kasih (minal
adâwah ilâ al-mahabbah), dari perpecahan menuju persatuan (min furqah ila al-wihdah), dari radikalisme Menuju moderasi (min al-radikaliyyah ila al wasthiyah).
Apa itu Moderasi Beragama?
Pertanyaannya kemudian adalah apa sesungguhnya yang dimaksud moderasi beragama (wasathiyah al-tadayyun) ? Mengapa sikap wasathiyah sangat penting dalam konteks beragama? Penulis perlu menegaskan kembali bahwa karakter dasar Islam adalah wasathiyah (moderasi), secara bahasa berarti sikap yang tengah-tengah, tidak terlalu ekstrem ke kanan atau ke kiri, serta tidak berlebih-lebihan (al-ghuluww) dalam menerapkan ajaran agama. Segala bentuk sikap yang ekstrem dapat dinilai sebagai keluar dari karakter dasar Islam. Itu sebabnya, al-Qur’an mengkritik sikap esktrem terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). “Wahai Ahli Kitab janganlah kalian bersikap ghuluw
(ekstrem) dalam agama kalian…” [Q.S. al-Nisâ’ [4]:171]. Al-Qur’an juga menyataka bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, (QS. al-Baqarah [2]:143), yakni umat yang memiliki sikap moderat, umat terbaik, sehingga ajarannya akan menjadi teladan bagi banyak orang.
Terkait dengan sikap wasathiyah ini yang menarik adalah bahwa letak ayat ini persis di tengah-tengah Surat al-Baqarah, yang jumlah keseluruhan ayatnya adalah 286. Inilah yang dalam bahasa Dr. Rasyad Khalifah disebut sebagai i’jâz `adadî (mukjizat bilangan). Di sisi lain, ternyata konteks ayat tersebut berbicara tentang perpindahan arah Kiblat, dari Baitul Maqdis di Palestina ke Ka’bah Baitullah di Masjidil Haram Makkah. Menurut para ahli, posisi Ka’bah secara geografis juga persis di tengah-tengah planet bumi. Hal ini semakin meneguhkan keyakinan penulis bahwa sikap moderasi (wasathiyah) adalah sikap yang ideal dan terbaik, khususnya dalam konteks kehidupan beragama, baik kita sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Sikap moderasi mengantarkan seseorang dapat lebih fleksibel dalam mengatasi konflik-konflik batin yang ada dalam dirinya sendiri, dan memudahkan seseorang dalam berinteraksi dengan the others komunitas umat beragama yang berbeda).
Hemat penulis, setidaknya, terdapat lima ayat al-Qur’an yang secara tegas merujuk pada term w-s-th (wasathiyah, moderasi). Semuanya menunjukkan kesan makna yang positif, yaitu: Pertama, terkait tentang posisi umat Islam sebagai umat moderat (Q.S. al-Baqarah [2]:143) umat yang akan menjadi teladan dan saksi bagi umat-umat lain nanti di akhirat. Kedua, pentingnya menjaga shalat yang ‘tengah-tengah’ (al-shalâh al-wusthâ) (Q.S al-Baqarah [2]: 238), Ketiga, perintah membayar kaffarah, ketika seseorang melanggar sumpah, yaitu emberikan makanan kepada sepuluh fakir miskin, dengan makanan ‘terbaik’, yaitu makanan yang biasa dimakan oleh keluarganya (Q.S.al-Ma’idah[5]:89). Keempat, apresiasi tentang orang yang paling baik pikirannya. “Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)? (Q.S.al-Qalam [68]: 28). Kelima, posisi kuda yang dengan gagah berani ketika berperang menyerbu ditengah-tengah musuh (Q.S al-`Adiyât [100]: 5), karena dengan begitu kuda depat memporak-porandakan musuh.
Sementara itu, al-Qur’an juga menyebutkan secara tersirat, tentang baiknya sikap moderasi (tengah-tengah). Misalnya, perintah Allah Swt kepada Bani Israil agar menyembelih sapi betina yang usianya tengah-tengah, tidak terlalu muda tidak terlalu tua (Q.S. al-Baqarah [2]: 68). Kondisi umur para penduduk surga yang usianya tengah-tengah, tidak terlalu tua tapi juga tidak terlalu muda. Nabi Saw menjelaskan bahwa usia mereka sekitar tiga puluhan tahun, dan bidadari di surga yang disediakan untuk golongan kanan (ash-hâbul yamîn), kelak umur mereka juga masih muda-muda (Q.S. al-Wâqi’ah [56]: 35-36). Moderasi juga ditunjukkan oleh sikap para Ash-hâbul Kahfi ketika keluar dari gua, hendak mencari makanan, mereka bersikap moderat. Al-Qur’an memerintahkan bersikap “wal yatalaththaf” (lemah lembut) kepada mereka ketika harus menemui para penduduk (Q.S.al-Kahfi [18: 19). Demikian pula, terkait dengan sikap seorang suami yang harus moderat ketika memperlakukan perempuan ketika sedang menstruasi (Q.S. al-Baqarah [2]: 222). Artinya, perempuan saat menstruasi tidak boleh diasingkan, sehingga tidak diizinkan tidur atau makan-minum bersama suami. Sebaliknya, mereka tetap saja boleh diajak bergaul sebagaimana biasanya, yang penting jangan sampai melakukan jima’ (hubungan seksual) saat ia menstruasi.
Bersambung …
- Buletin LSQ Ar-Rohmah Edisi : 1 - November 20, 2022
- MUI BERKHIDMAT, “Prosesi Ramah Tamah Tamah & Serah Terima Da’i/ Da’iyyah dari MUI Pusat kepada MUI Provinsi Papua Barat”. - November 1, 2022
- Maqashid di Balik Perayaan Maulid Nabi Saw - November 1, 2022