al-Qutb al-Din Ahmad b. ‘Abd al-Rahman atau biasa disebut dengan Syah Waliyullah al-Dihlawi dikenal sebagai pelopor jalan baru bagi pemikiran dan sistem ajaran Islam serta dalam kajian Alquran. Dalam sejarah penafsiran Alquran di anak benua India, al-Dihlawi diakui sebagai orang pertama yang melakukan pembaharuan metodologi tafsir Alquran. (Murtada, Beberapa Metodologi Tafsir Alquran di Anak Benua India)
Kontribusi al-Dahlawi dalam Quranic Studies terlihat dari beberapa karya pentingnya, di antaranyaadalah al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, yang mengemukakan gagasan al-Dahlawi tentang prinsip-prinsip memahami Alquran, Fath al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an, terjemah Alquran ke dalam bahasa Persia yang mendapat kritik keras pada saat itu, Fath al-Munir, kitab tafsir yang mengkaji kata-kata asing dalam Alquran, dan Zahrawayn, kitab tafsir surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran.
Karya-karya tersebut, terutuma dua yang pertama telah mempengaruhi atau setidaknya telah menyumbangkan inspirasi bagi munculnya gagasan-gagasan tentang Alquran dan penafsirannya di abad modern.
Alquran dalam Perspektif Syah Waliyullah al-Dihlawi
Sebagaimana cendikiawan muslim yang lain, al-Dihlawi memandang Alquan merupakan kalam Allah yang diwahyukan secara verbal (bukan hanya ide atau konsep) kepada Nabi Muhammad. Hal ini perlu ditegaskan sebelum melihat lebih jauh konsep-konsep al-Dihlawi yang lain tentang Alquran, karena persoalan tersebut sempat menjadi perdebatan di dunia akademik.
Sayyid Ahmad Khan, misalnya, setelah mengkaji Al-Tafhimat al-Ilahiyat al-Dihlawi, berkesimpulan bahwa, bagi al-Dihlawi, pewahyuan Alquran terbatas pada maknanya saja, sedangkan lafalnya dari Nabi sendiri. (Khan, Principles of Exegesis) Kesan yang sama ditangkap oleh Fazlur Rahman dari kitab Sataat-nya al-Dihlawi. (Rahman, Devine Revealation and Prophet)
Dengan bacaan yang serupa, Baljon menganggap bahwa kesimpulan Sayyid Ahmad Khan di atas, begitu juga kesan yang dipahami oleh Fazlur Rahman, merupakan sebuah kesalahan memahami (misunderstanding). Menurut Baljon, dalam perspektif al-Dihlawi, bentuk verbal ayat-ayat Alquran bukanlah prestasi Nabi Muhammad. Pandangan yang terakhir ini diperkuat oleh pernyataan al-Dihlawi dalam Sharh Tarajim (Baljon, Religion and Thought of Syaikh Waliyullah al-Dihlawi)
Dalam beberapa kitabnya, al-Dihlawi menguraikan pandangannya mengenai asal-usul Alquran. Pertama-tama, menurutnya, Allah menampakkan kehendaknya dengan penampakan yang sangat jelas (tajalli a‘zam) bagaikan penampakan cahaya matahari. Di sini berbagai bentuk bercampur jadi satu.
Setelah Nabi Muhammad diutus ke dunia, baru kemudian kehendaknya tersebut dibungkus dengan bahasa Arab. Gaya dan sastra bahasa Arab, bentuk ayat dan surat Alquran bercampur dalam pikiran Nabi Muhammad dengan bantuan otoritas yang tidak terlihat. Selama berkomunikasi dengan Allah melalui malaikat Jibril, Nabi hanyalah sebagai alat atau perantara untuk menyampaikan kehendak-Nya.
Dengan demikian, menurutnya Alquran adalah kalam Allah yang qadim yang diturunkan dan diwahyukan dalam bahasa Arab melalui perantara malaikat Jibril dan diceritakan oleh lisan manusia, ditulis di atas salinan-salinan Alquran serta diucapkan oleh kata-kata orang Arab. (al-Dahlawi, Kalimat al-Tayyibat)
Dalam karya yang lain, al-Dihlawi membedakan tiga bentuk evolusi asal usul Alquran. Pertama, pada tahap awal, firman Allah masuk ke dalam hati Nabi Muhammad. Tahap ini terjadi sebelum periode kenabian. Kedua, pada periode kenabian firman Allah hadir dalam alam imajinatif (‘alam al-khayal) sebagai kata hati (kalam nafs) dan diartikulasikan dengan kata-kata lisan (kalam talaffuz). Ketiga, pada tahap ini firman Allah dipadukan dengan pemahaman Nabi Muhammad. Tahap ini terjadi untuk mengembangkan syariat. (al-Dihlawi, al-Khair al-Khatir)
Al-Dihlawi memandang Alquran memuat memuat lima informasi penting. Pertama, aturan-aturan yang diperlukan dalam praktek-praktek keagamaan, urusan keduniaan, rumah tangga, ekonomi, dan politik. Kedua, polemik yang terjadi antara kaum muslim dengan empat golongan sesat, Yahudi, Nasrani, Musyrik, dan Munafiq.
Ketiga, gugahan untuk mengingat anugerah Tuhan dengan menjelaskan bagaimana surga dan dunia diciptakan, dan bahwa dengan berterima kasih dengan cara melaksanakan perintah Tuhan, manusia dapat memenuhi keperluan hidupnya. Keempat, gugahan untuk mengingat hari akhir. Kelima, gugahan untuk mengingat kematian dan hal-hal yang akan terjadi setelahnya pada hari pembangkitan dan perhitungan (al-Dihlawi, Hujjat Allah al-Balighah)
Eksposisi tentang informasi yang terkandung dalam Alquran disajikan dengan gaya penulisan yang digunakan oleh orang Arab awal, bukan gaya penulisan orang-orang belakangan. polemik disajikan dengan pembuktian yang popular. (al-Dihlawi, al-Fauz al-Kabir) Ayat-ayat yang menggugah untuk mengingat Allah disajikan dengan hal-hal yang diketahui oleh orang banyak.
Sifat-sifat Allah disajikan dengan cara yang mudah dipahami. Ayat-ayat tentang kisah-kisah disajikan dengan cara yang dapat mengetuk hati manusia dengan kisah-kisah yang populer di kalangan masyarakat Arab, serta dengan beberapa episod global, sedangkan ayat-ayat tentang kematian disajikan dengan memaparkan kelemahan dan ketidakberdayaan manusia (al-Dihlawi, al-Fauz al-Kabir)
Memahami Alquran dengan baik
Menurut al-Dihlawi, kesulitan dalam memahami Alquran dikarenakan adanya lafal-lafal yang asing (gharib), adanya penghapusan satu ayat dengan ayat yang lain, adanya sebab-sebab turunnya ayat, dan susunan kalimat yang sulit. Oleh karena itu, agar dapat memahami Alquran dengan baik, al-Dihlawi menawarkan beberapa prinsip yang harus dipegang. (al-Dihlawi, Fath al-Rahman bi Tarjamat al-Qur’an)
Pertama, menguasai bahasa Arab, memiliki pengetahuan yang memadai tentang lafal-lafal asing yang terdapat dalam Alquran dan tentang persoalan di sekitar al-naskh (penghapusan) dan asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat Alquran) dengan merujuk kepada hadis-hadis Nabi. Kedua, mengetahui situasi politik, situasi sosio-kultural, dan situasi keagamaan masyarakat ketika Alquran diturunkan.
Ketiga, ketentuan-ketentuan dalam Alquran harus dipahami sebagai sesuatu yang universal dan relevan sepanjang masa. Keempat, kisah-kisah dalam Alquran harus dipahami sebagai bertujuan untuk menggugah hati pembaca dan pendengarnya agar dapat mengambil pelajaran darinya, bukan untuk mengetahui kisah itu semata. Kelima, bahasa yang digunakan Alquran adalah bahasa Arab yang digunakan oleh generasi pertama Islam yang gramatika dan sastranya mengikuti gramatika dan sastra yang dikenal oleh kebanyakan orang Arab masa itu. (al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir)
Kesimpulan
Corak pemikiran al-Dihlawi bisa dilihat dalam gagasan-gagasan barunya tentang Alquran pemikiran rasionalnya terlihat dalam gagasannya tentang asal usul Alquran, dalam ke-qadim-an Alquran dan dalam informasi-informasi yang terkandung dalam Alquran itu sendiri.
Sedangkan gagasan baru al-Dihlawi tentang pemahaman dan penafsiran yang baik terhadap Alquran terletak pada lima prinsip memahami dan menafsirkan yang baik terhadap Alquran yang digagasnya, yang meliputi: 1) Penguasaan terhadap bahasa Arab dengan segala dimensinya; 2) Pemahaman terhadap situasi politik, situasi sosio-kultural, dan situasi keagamaan masyarakat ketika Alquran diturunkan; 3) Pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan dalam Alquran sebagai sesuatu yang universal dan berlaku sepanjang masa; 4) Pemahaman terhadap kisah-kisah dalam Alquran sebagai sesuatu yang harus diambil pelajaran darinya, bukan mengetahui kisah itu semata; 5) Penggunaan bahasa Arab yang digunakan Alquran, yaitu bahasa Arab dengan gramatika dan sastra yang dikenal oleh orang Arab ketika Alquran turun. Wallahu a’lam

- Buletin LSQ Ar-Rohmah Edisi : 1 - November 20, 2022
- MUI BERKHIDMAT, “Prosesi Ramah Tamah Tamah & Serah Terima Da’i/ Da’iyyah dari MUI Pusat kepada MUI Provinsi Papua Barat”. - November 1, 2022
- Maqashid di Balik Perayaan Maulid Nabi Saw - November 1, 2022