Perempuan di Indonesia sudah tidak asing dengan pertanyaan, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi? Toh nyatanya nanti jadi ibu rumah tangga.” dan pertanyaan serupa lainnya yang menggambarkan kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Realitas budaya seperti ini menghadirkan berbagai gerakan terkait wacana emansipasi wanita di Indoensia. Tulisan Anne K. Rasmussen yang berjudul, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia (Rasmussen 2010) adalah salah satu cara mengidentifikasi gerakan tersebut.
Berawal dari ketidaksengajaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Jakarta, Anne menapaki titik awal penelitian etnografinya. Keingintahuannya terhadap apapun yang menyangkut musik, proses ia dihasilkan dan dirasakan, hingga bagaimana implikasi makna literal maupun estetisnya timbul. Patut dipertimbangkan, kepekaan Anne terhadap suara karena kepakarannya dalam bidang etnomusikologi (CakNun.com 2020).
Tulisan ini berusaha mengulas hasil penelitian Anne berdasarkan kajian etnografinya di Indonesia yang pada buku tersebut. Fokus Anne menyorot dua hal. Pertama, kehadiran dan keikutsertaan perempuan dalam berbagai pertunjukan seni Islam di Indonesia. Kedua, muatan nilai ritual dari pertunjukan-pertunjukan tersebut.
Peran perempuan muslim di Indonesia dalam berbagai seni pertunjukan Islami bisa dikatakan berlawanan dengan apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Seperti kekhawatiran efek suara perempuan ketika dipublikasi yang bisa membangkitkan hasrat negatif, bahkan ketika perempuan melantunkan bacaan Al-Qur’an. Namun, menariknya masyarakat Indonesia umumnya tidak memiliki kekhawatiran seperti itu (Mattson 2013, 198–99).
Buku Anne menarik karena menyoroti hal yang sebelumnya jarang dipahami secara serius, Islam di Asia Tenggara. Jika terdapat stigma yang menyatakan Islam sebagai penghalang bagi ekspresi kreatif budaya, maka kajian buku ini memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Anne memberi kontribusi terhadap signifikansi studi islam di Asia Tenggara lewat karya etnografi dokomenternya.
Ini Membuktikan bahwa wajah Islam tidak kaku dan ekslusif sebagaimana yang diberitakan media-media global saat ini. Anne banyak memberi persepsi baru tentang Islam berdasarkan realitas muslim Indonesia sebagai negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia. Seperti aspek performasi Al-Qur’an di Indonesia melalui tilawah tidak hanya ditinjau dari implikasi teologisnya. Ia inheren dengan berbgai aspek, seperti budaya, politik, dan emansipasi wanita.
Anne memberi gambaran keterpisahan dunia seni musik Indonesia dan Timur Tengah sebagai upaya perlunya mengkaji kebudayaan Islam dalam kawasan tertentu sebagai alih-ahir menggeneralisai sejarah kebudayaan Islam berdasarkan kajian di Timur Tengah. Keterpinggiran studi Islam Asia Tenggara, mengutip Ahmad T. Kuru, disebabkan anggapan bahwa islamisasi di kawasan tersebut terjadi belakangan, sementara penjajahannya terjadi dalam interval yang relatif singkat. Interval yang terlalu singkat dianggap belum bisa mengokohkan relasi Islam-negara Asia Tenggara yang bisa dikomparasikan dengan model Timur Tengah (Kuru 2021, xviii).
Buku ini penting bagi para pengkaji Al-Qur’an karena usahanya menghadirkan keragaman resepsi umat Islam terhadap Al-Qur’an. Kajian lapangan Anne terkait aktifitas tilawah dan pengajarannya mungkin agak sulit bagi pembaca yang tidak akrab dengan dunia tilawah (mujawwad) Al-Qur’an, meski begitu Anne memberi perbandingan terhadap istilah-istilah yang ditemukan padanannya dalam dunia musik Barat untuk mempermudah pemahaman bagi pembaca yang tidak akrab dengan dunia mujawwad Al-Qur’an.
Selain itu, Anne memberi gambaran psikologis momen qari’/qari’ah ketika melantunkan Al-Qur’an dan bagi pendengarnya, aspek performatif Al-Qur’an yang sulit disentuh kecuali bagi seorang muslim.Women (perempuan), kata yang menjadi bagian pertama dari struktur judul buku ini mengisyaratkan perempuan sebagai potret utama kajian etnografi Anne. Di tengah komunitas yang tergolong patriarkis, ia berhasil mengidentifikasi usaha emansipasi wanita dalam budaya seni pertunjukan Islam di Indonesia.
Penjelajahan Anne dari kampus, pondok pesantren, berbagai pelombaan tilawah maupun seni Islam menghasilkan argumen bahwa budaya seni musik Islam di Indonesia lebih menunjukkan keotentikan Islam (Afsaruddin 2007, 190–92). Bagi penggiat gender, buku ini juga memberi persepsi bagaimana modernitas ala Barat sebagai langkah emansipasi wanita justru tidak berlaku di Indoenesia. Konsep “kemajuan” yang diidentikkan dengan modernisme menjadi samar ketika melihat modernis dan tradisionalis di Indonesia.
Bagi pembaca saat ini, mungkin gambaran realitas budaya masyarakat yang dihadirkan dalam buku Anne terasa jauh. Hal ini disebabkan setting historis penelitian Anne kala itu berada di masa transisi Orde Baru ke Reformasi. Dinamika signifikan terjadi dalam masa transisi kala itu menyebabkan gambaran yang diberikan Anne terasa jauh bagi pembaca saat ini.

- Buletin LSQ Ar-Rohmah Edisi : 1 - November 20, 2022
- MUI BERKHIDMAT, “Prosesi Ramah Tamah Tamah & Serah Terima Da’i/ Da’iyyah dari MUI Pusat kepada MUI Provinsi Papua Barat”. - November 1, 2022
- Maqashid di Balik Perayaan Maulid Nabi Saw - November 1, 2022